Persepsi dalam Komunikasi: Kunci Memahami dan Menanamkan Nilai dalam Pendidikan Karakter Bangsa
Dalam memperingati Hari Pendidikan Nasional, saya merefleksikan kembali pembelajaran tentang komunikasi, khususnya konsep persepsi, yang kami dalami dalam kelompok. Persepsi dalam komunikasi merujuk pada bagaimana individu menangkap, menafsirkan, dan memberi makna terhadap pesan yang diterimanya. Ini merupakan proses psikologis dan sosial yang dipengaruhi oleh pengalaman, latar belakang budaya, nilai-nilai pribadi, serta konteks situasi. Dalam membangun karakter bangsa, persepsi menjadi hal yang sangat fundamental, karena bagaimana seseorang menanggapi pesan nilai sangat bergantung pada bagaimana ia memaknainya, bukan semata-mata pada isi pesannya (Devito, 2019).
Makna dari topik ini dalam konteks pendidikan karakter sangat mendalam. Sebab, pendidikan bukan hanya soal transfer pengetahuan, tapi pembentukan sikap, nilai, dan kepribadian. Komunikasi yang mendidik harus mempertimbangkan bagaimana peserta didik memersepsikan pesan nilai yang disampaikan. Saya pernah menyaksikan seorang guru menyampaikan pesan tentang pentingnya kejujuran, namun dengan gaya otoritatif dan nada menggurui. Beberapa siswa, alih-alih merasa tercerahkan, malah menganggapnya sebagai bentuk pemaksaan moral. Di sinilah persepsi mengambil peran: pesan bernilai positif bisa diterima secara negatif jika tidak disampaikan dengan mempertimbangkan perspektif penerima (Beebe & Ivy, 2022).
Nilai-nilai luhur seperti adab, sopan santun, dan penghormatan terhadap orang tua sangat bergantung pada persepsi. Dalam lingkungan multikultural seperti Indonesia, perbedaan persepsi terhadap konsep kesopanan sangat mungkin terjadi. Apa yang dianggap sopan dalam budaya Jawa, bisa saja dianggap terlalu formal atau bahkan pasif oleh suku lain. Maka, dalam konteks kebhinekaan, komunikasi nilai-nilai harus dibingkai dengan kesadaran bahwa setiap individu membawa kerangka persepsinya sendiri. Pendidikan karakter yang sensitif terhadap persepsi akan lebih mampu menjembatani perbedaan dan menanamkan nilai secara efektif dalam bingkai NKRI (Samovar et al., 2017).
Pengalaman pribadi saya di kampus memperkuat pemahaman ini. Saat mengikuti diskusi lintas fakultas tentang toleransi beragama, saya melihat bahwa cara penyampaian sangat memengaruhi respons audiens. Salah satu pembicara menggunakan pendekatan naratif—menceritakan pengalaman hidup bertoleransi di lingkungan minoritas—dan audiens meresponsnya dengan penuh empati. Pendekatan ini berhasil karena menyentuh persepsi emosional dan sosial peserta. Hal ini menunjukkan bahwa komunikasi yang memperhatikan persepsi lebih mampu membangun koneksi emosional dan membentuk nilai dalam diri individu (Adler & Proctor, 2018).
Dalam dunia pendidikan, persepsi juga memainkan peran dalam relasi guru-siswa. Guru yang memahami cara siswa memersepsikan kritik, pujian, atau penilaian akan lebih berhasil membentuk karakter. Misalnya, seorang siswa dengan latar belakang keluarga yang keras mungkin memersepsikan kritik sebagai serangan pribadi. Jika guru tidak peka terhadap hal ini, niat membangun karakter justru menimbulkan trauma atau resistensi. Maka, komunikasi pendidikan karakter harus memperhitungkan persepsi psikologis siswa agar dapat benar-benar menyentuh hati dan pikiran mereka (Miller, 2021).
Relevansi topik ini sangat besar bagi generasi muda yang hidup di era banjir informasi. Dalam konteks media sosial, persepsi terhadap pesan sangat dipengaruhi oleh framing, tone, dan konteks visual. Sebuah pesan tentang pentingnya keberagaman bisa dipersepsikan sebagai "politis" jika disampaikan dengan simbol tertentu. Generasi muda perlu dibekali literasi persepsi—kemampuan mengenali bias, membaca konteks, dan menyadari kerangka interpretasi mereka sendiri. Ini adalah bagian dari komunikasi yang kritis dan reflektif, yang sangat penting dalam membangun karakter generasi digital (McQuail, 2020).
Komunikasi yang memperhatikan persepsi juga dapat menjadi alat efektif untuk memperkuat jati diri bangsa. Pesan-pesan tentang sejarah, budaya lokal, dan nilai Pancasila perlu disampaikan dengan pendekatan yang sesuai dengan persepsi generasi muda. Penggunaan media visual, film pendek, bahkan meme bisa menjadi jembatan untuk mengubah persepsi bahwa nilai-nilai kebangsaan itu kuno. Saya melihat contoh baik ini pada kampanye digital “Bangga Buatan Indonesia” yang berhasil menanamkan rasa cinta tanah air melalui pendekatan visual yang estetik dan gaya bahasa yang relevan (Kotler & Keller, 2021).
Pendidikan karakter melalui komunikasi tidak cukup dengan pendekatan satu arah. Diperlukan dialog yang memperhitungkan persepsi dua arah—antara penyampai dan penerima. Saya pernah terlibat dalam proyek komunitas yang mengajarkan nilai toleransi kepada siswa SMP. Kami tidak hanya memberi ceramah, tetapi membuat mereka berbagi pengalaman hidup bersama teman dari latar belakang berbeda. Aktivitas ini mengubah persepsi mereka terhadap “yang berbeda”. Dari awalnya canggung dan penuh stereotip, mereka menjadi lebih terbuka. Ini membuktikan bahwa persepsi bisa diubah melalui komunikasi yang empatik dan partisipatif (Wood, 2020).
Di tengah arus globalisasi, identitas nasional sering tergerus oleh persepsi bahwa budaya luar lebih modern atau unggul. Di sinilah komunikasi berperan sebagai alat pembentuk persepsi baru—bahwa menjadi Indonesia adalah sesuatu yang membanggakan, berkarakter, dan bermartabat. Namun, ini hanya mungkin jika komunikasi dilakukan dengan pendekatan yang tidak menggurui, melainkan membangun persepsi yang otentik dan relevan dengan keseharian generasi muda. Media, pendidikan, dan institusi publik perlu bersinergi untuk menciptakan narasi kebangsaan yang menyentuh, bukan hanya informatif (Hofstede, 2019)
Sebagai penutup, saya menyadari bahwa persepsi dalam komunikasi adalah fondasi penting dalam proses pendidikan karakter dan pembentukan jati diri bangsa. Komunikasi yang efektif tidak cukup hanya menyampaikan nilai, tapi harus memperhitungkan bagaimana nilai itu ditangkap dan dimaknai oleh penerima pesan. Dengan membangun komunikasi yang sadar akan persepsi, kita bukan hanya mentransfer nilai, tetapi juga membentuk manusia Indonesia yang utuh serta berakhlak, berbudaya, dan bangga akan jati dirinya.
Daftar Pustaka
Adler, R. B., & Proctor, R. F. (2018). *Looking out, looking in* (15th ed.). Cengage Learning.
Beebe, S. A., & Ivy, D. K. (2022). *Communication: Principles for a lifetime* (7th ed.). Pearson.
DeVito, J. A. (2019). *The interpersonal communication book* (15th ed.). Pearson.
ofstede, G., Hofstede, G. J., & Minkov, M. (2019). *Cultures and organizations: Software of the mind* (3rd ed.). McGraw-Hill Education.
Kotler, P., & Keller, K. L. (2021). *Marketing management* (16th ed.). Pearson.
McQuail, D. (2020). *McQuail’s mass communication theory* (7th ed.). Sage Publications.
Miller, K. (2021). *Organizational communication: Approaches and processes* (7th ed.). Cengage Learning.
Samovar, L. A., Porter, R. E., & McDaniel, E. R. (2017). *Intercultural communication: A reader* (14th ed.). Cengage Learning.
Wood, J. T. (2020). *Communication mosaics: An introduction to the field of communication* (9th ed.). Cengage Learning.
Profi Penulis
Komentar
Posting Komentar